Kampus Pasca

Kampus Pasca
Kampus telanai

Selasa, 15 April 2014

Behaviorisme


 

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Teori belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana hakekat teori behavior ?
2.      Siapa saja tokoh yang mendukung teori behavior ?
3.      Bagaimana pengaplikasi / penerapan yang cocok dalam teori behavior ?
4.      Apa saja kekuatan dan kelemahan teori behavior ?
5.      Apa saja implikasi dari teori behavior ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui bagaimana konsep teori behavior
2.      Mengetahui siapa saja tokoh yang mendukung teori behavior
3.      Mengetahui bagaimana pengaplikasi / penerapan yang cocok dalam teori behavior
4.      Mengetahui apa saja kekuatan dan kelemahan teori behavior
5.      Mengetahui apa saja implikasi dari teori behavior





PEMBAHASAN
A. Hakekat Teori Behavior

Teori Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Senada dengan itu dikatakan bahwa teori pembelajaran behavioral merupakan penjelasan tentang pembelajaran yang difokuskan pada kejadian-kejadian eksternal sebagai penyebab perubahan pada perilaku yang dapat diobservasi.[1]

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Dalam teori behavioristik manusia lahir tampa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan, dan warisan abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan. Artinya seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya bergantung pada bagaimana individu itu dididik.[2]

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa responStimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan Respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Hal lain yang berkaitan dengan teori behavioristik adalah contiguity, istilah ini pertama kali dicetuskan Aristoteles, ia mengatakan bahwa kita mengingat berbagai hal secara bersama-sama (1) bila mereka mirip, (2) bila mereka kontras, (3) bila mereka contiguous. Prinsip Contiguity mengetakan bahwa bilamana dua sensasi atau lebih terjadi bersama-sama dengan cukup sering, mereka akan menjadi terasosiasi. Setelah itu, bila hanya satu sensasi (stimulus) terjadi, yang lain juga akan teringat (respon).[3]   
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi :
1.      Reinforcement and Punishment
2.      Primary and Secondary Reinforcement
3.      Schedules of Reinforcement
4.      Contingency Management
5.      Stimulus Control in Operant Learning
6.      The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Menurut Thorndike, Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon,Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera, dengan kata lain Stimulus adalah kejadian yang meng aktifkan perilaku.[4] sedangkan Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Menurut Anita; 2009 respon adalah reaksi yang dapat diobservasi terhadap sebuah stimulus.


Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni :
1.      Hukum Kesiapan
Hukum kesiapan (Law of readiness) dimana semakin siap suatu organisme memperoleh perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. (Bell, Gredler, 1991)
Contoh: siswa yang siap ujian, maka ia akan puas, tetapi jika ujiannnya ditunda, ia menjadi tidak puas.
2.      Hukum Latihan
Hukum Latihan (Law of excercise) yaitu semakin sering tingkah laku di ulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Contoh : siswa yang belajar bahasa Inggris , semakin sering digunakan bahasa Inggrisnya, maka akan semakin terampil dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Tetapi jika tidak digunakan, maka ia tidak akan terampil berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
3.      Hukum Efek / Akibat
hukum akibat (law of effect) yaitu hubungan stimulus respon akan cenderung di perkuat bila akibatnya menyenangkan dan sebaliknya cenderung melemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Contoh : siswa yang mendapatkan nilai tinggi maka akan semakin besar juga minat siswa tersebut dalam memahami materi pelajarannya, namunjika siswa tersebut mendapatkan nilai rendah maka semakin rendah juga minat siswa tersebut terhadap pelajaran atau bahkan ia akan menghindari pelajaran tersebut.
Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon

B.   Tokoh-tokoh Teori Behavior
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, Skinner

1.      Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
2.      Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Ciri-ciri dari teori ini adalah sebagai berikut :
a.  Mementingkan faktor lingkungan
b.  Menekankan pada faktor bagian
c.  Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif
d. Bersifat mekanis
e. Mementingkan masa lalu
f.  Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil
g. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
h. Menekankan pentingnya latihan
i.  Mementingkan mekanisme hasil belajar
j.  Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

3.      Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

4.      Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

C.    Aplikasi Teori Behavior
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan belajar tergantung beberapa hal seperti :
1.      Tujuan pembelajaran
2.      Sifat materi pelajaran
3.      Karakteristik siswa
4.      Media
5.      Fasilitas pembelajaran yang tersedia
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: Percakapan Bahasa Asing, Mengetik, Menari, Menggunakan Komputer, Berenang, Olahraga Dan Sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Langkah-langkah pembelajaran yang  berpijak  pada teori behaviorisme dan digunakan untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembalajaran (RPP) atau Rencana Pembalajaran (RP), antara lain seperti yang dinyatakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) esensinya meliputi:
1.      Menentukan tujuan pembelajaran, jika berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompensasi (KBK) yang juga dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hal ini dimulai dengan pemilihan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dikuasai pembelajar, kemudian merumuskan indicator dan tujuan pembelajaran untuk mencapai standar tersebut.
2.      Menganalisis lingkungan kelas terutama adalah melakukan identifikasi perilaku awal (entry behavior) siswa. Hal ini dapat dilihat sebagai hasil refleksi atau penilaian terhadap materi pembelajaran terkait sebelumnya.
3.      Menentukan materi pelajaran (hal ini berbeda dengan sekuen KBK/KTSP)
4.      Merinci materi pembelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, subpokok bahasan, topic, dan lain-lain
5.      Menyajikan materi  pelajaran, meliputi kegiatan pembukaan, inti dan penutup
6.      Memberikan stimulus, rangsangan, dapat berupa pertanyaan, tes/kuis, latihan, dan tugas-tugas
7.      Mengamati dan mengkaji serta menilai respon yang diberikan siswa.
8.      Memberikan penguatan (reinforcement) ataupun hukuman atau negative reinforcement
9.      Memberikan stimulus baru berdasarkan penilaian terhadap respon sebelumnya
10.  Mengamati, mengkaji, dan menilai respon baru yang diberikan oleh siswa.
11.  Bila dirasa tujuan pembelajaran telah dicapai dapat diberikan penilaian akhir.
Sementara itu para ahli psikologi pendidikan sepakat bahwa pembelajaran menurut konsep behaviorisme berlangsung dengan tiga langkah pokok, yaitu :
1. Tahap Akuisisi, tahap perolehan pengetahuan. Dalam tahap ini siswa belajar tentang informasi baru
2. Tahap Retensi, dalam tahap ini informasi atau keterampilan baru yang dipelajari dipraktikkan sehingga sehingga dapat mengingatnya selama suatu periode waktu tertentu. Tahap ini juga disebut tahap penyimpanan (storage stage), artinya hasil belajar disimpan untuk digunakan di masa depan
3.  Tahap Transfer. Seringkali gagasan yang disimpan dalam memori sulit diingat kembali saat akan digunakan di masa depan. Kemampuan untuk mengingat kembali informasi dan menggunakannya dalam situasi baru (yaitu mentransfernya dalam pembelajaran yang baru) tampaknya memang memerlukan bermacam-macam strategi, tetapi kelihatannya amat bergantung kepada ingatan kita terhadap informasi yang benar.

D.    Kekuatan dan Kelemahan Teori Behavior

Dalam setiap teori tidak lepas dengan adanya kelebihan dan kekurangan, maka dalam penerapan teori pembelajaran berbasis behavioristik menjumpai kekurangan dan kelebihan diantaranya :


1.      Kekuatan Teori Behavior
Teori behaviorisme dalam pendidikan memiliki sejumlah besar pengikut sehingga memiliki implikasi yang nyata dalam pembelajaran. Bahkan harus diakui banyak pendidik diseluruh belahan dunia ini yang masih mempraktekan aliran behaviorisme. Teori bihaviorisme dengan model hubungan S-R mendukung siswa sebagai individu yang pasif.
Pembelajaran yang berpijak yang dirancang berdasarkan teori behaviorisme memandang pengetahuan bersifat objektif, tetap, pasti dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar merupakan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama tentang pengetahuan yang diajarkan. Proses berpikir utama siswa adalah “meng-copy and paste” pengetahuan seperti apa yang dipahami pengajar.

2.      Kelemahan Teori Behavior
Dalam proses belajar mengajar siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pengajar.  Oleh karena itu, kurikulum dikembangkan secara terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus diraih oleh siswa. Dalam penilaian (asesmen) hasil tes tulis, hasil uji kinerja yang dapat diamati (observable), sehingga hal-hal yang tidak teramati seperti sikap, minat, bakat, motivasi dan sebagainya kurang dijangkau oleh penilaian.

E.     Implikasi Teori Behavior
Kurikulum berbasis filsafat behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional, terlebih lagi pada jenjang pendidikan usia dewasa. Tetapi behaviorisme dapat diterapkan untuk metode pembelajaran bagi anak yang belum dewasa. Karena hasil eksperimentasi bihavioristik cenderung mengesampingkan aspek-aspek potensial dan kemampuan manusia yang dilahirkan. Bahkan bihaviorisme cenderung menerapkan sistem pendidikan yang berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek pendidikan yang netral etik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai fitrah manusia. Oleh karena itu behaviorisme cenderung antropomorfis skularistik.


























BAB III
PENUTUP
A.    Penutup

Demikianlah beberapa pandangan tentang teori behavioristik, dari pemaparan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam teori behavioristik faktor lingkungan sangat penting perananya dalam proses pembelajaran, disamping itu teori ini juga mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.

Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah para pendidik yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.

B.     Kesimpulan

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori behviorisme dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi :
1.      Reinforcement and Punishment
2.      Primary and Secondary Reinforcement
3.      Schedules of Reinforcement
4.      Contingency Management
5.      Stimulus Control in Operant Learning
6.      The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
C.    Kritik dan Saran

Penulis menyadari akan kekurangan makalah ini, maka penulis mengharap dengan sangat kritik dan saran untuk kebaikan dan pengembangan makalah ini dengan baik untuk kedepannya.





DAFTAR PUSTAKA

A. Tabrani Rusyan, dkk, “Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar”, 1989, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Anita Woolfolk, Educational Phychology Active Learning Edition, Jogyakarta, Pustaka Pelajar,2009
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, “ Teori Belajar dan Pembelajaran”, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2010
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, 2009 . (PT: Raja Grafindo Pustaka:Jakarta). H
Mukhlas Sumani, Belajar dan pembelajaran, Bandung, remaja Rosdakarya,2011
file:///G:/teori-belajar-behavioristik.html , diakses pada tanggal  29 Maret 2014.



[1] Anita Woolfolk, Educational Phychology Active Learning Edition, Jogyakarta, Pustaka Pelajar,2009, hal.304
[2][2][2] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hal 104
[3] Rachlin, Wasserman & Miller dalam Anita Woolfolk :2009
[4] Anita Woolfolk, Educational Phychology Active Learning Edition, Jogyakarta, Pustaka Pelajar,2009, hal.306 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar