Kampus Pasca

Kampus Pasca
Kampus telanai

Selasa, 15 April 2014

Landasan Penggunaan Media


PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Proses pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengkondisikan terjadinya pembelajaran. Dalam interaksi tersebut dibutuhkan komponen-komponen seperti; ada indikator yang hendak dicapai, ada materi pokok yang menjadi muatan interaksi, ada penjajakan kemampuan awal yang dimiliki siswa, ada siswa yang aktif, ada guru sebagai fasilitator, ada sinkronisasi metode, ada situasi dan lingkungan yang mendukung sehingga terjadi proses pembelajaran, ada beberapa tagihan kompetensi terhadap hasil interaksi. Komponen-komponen tersebut tidak dapat dipisah-pisahkandalam proses pembelajaran.[1]
Sesuai dengan tuntutan  perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan siswa dihadapakan pada materi pelajaran yang relatif lebih komplek dan bobot materi yang lebih berat, karena itu untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran guru diharapkan dapat memfasilitasi proses pembelajaran dengan baik agar pesan yang disampaikan dalam materi dapat difahami siswa dengan baik salah satunya adalah dengan menggunakan media yang tepat dalam proses pembelajaran.
Perkembangan media pembelajaran dipengaruhi dipengaruhi perkembangan teknologi komunikasi yang lebih awal muncul. Kalau dilihat perkembangannya, pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru. Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya: gambar, model, objek, dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit, motivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa.
.     B.   Rumusan Masalah
       Dari latar belakang diatas, dapat di rumuskan masalah, yaitu : Apasajakah landasan penggunaan media pembelajaran ?



 
PEMBAHASAN
A.      Landasan Penggunaan Media Dalam Pembelajaran
Penggunaan media dalam pembelajaran dapat membantu guru dan siswa dalam memahami materi pembelajaran. Ketepatan memilih media merupakan faktor utama dalam mengoptimalkan hasil pembelajaran. Untuk memilih media yang tepat seorang guru perlu mempertimbangkan berbagai landasan agar media yang dipilih benar-benar sesuai dengan tingkat pemahaman, kemampuam berpikir, psikologis, dan kondisi sosial siswa. Sebab penggunaan media yang tidak sesuai dengan kondisi anak akan menyebabkan tidak optimalnya fungsi media yang digunakan.
Ada tujuh landasan penggunaan media pembelajaran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi guru dalam memilih media yang tepat, sesuai isi dan tujuan dalam pembelajaran. Ketujuh landasan tersebut adalah landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologi, landasan historis, landasan teknologis, landasan empirik dan landasan religius
1.        Landasan Filosofis
Proses pembelajaran tidak lepas dari usaha pencarian kebenaran yang terdiri dari kegiatan berlogika, beretika, dan berestetika. Dalam pembelajaran guru dan siswa berusaha mencari mana yang benar dan mana yang salah. Proses pencarian kebenaran inilah yang merupakan ranah filsafat, yaitu berlogika. Selain itu, guru dan siswa juga melakukan kegiatan dalam pembelajaran untuk mencari mana yang baik dan mana yang buruk, yang merupakan kegiatan filsafat ranah etika. Begitu pula saat berestetika, persoalan-persoalan in membutuhkan jawaban secara jelas melalui jawaban filosfis.
Filsafat bisa diartikan: (1) sebagai aliran atau hasil pemikiran, yakni berupa sistem pemikiran yang konsisten dan dalam tarap tertentu sebagai sistem tertutup (closed system), dan (2) sebagai metode berfikir, yang dapat dicirikan: a. mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), b) membentuk cara berfikir kritis (critical thought), dan c) menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual freedom). Sebagai sebuah cabang filsafat, kurang lebih sudut pandang inilah, filsafat ilmu melihat ilmu-ilmu sebagai obyek kajiannya. Karenanya filsafat ilmu bisa juga disebut sebagai bidang yang unik, sebab yang dipelajari adalah dirinya sendiri.[2] Berdasarkan arti secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan definisi fisafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk berfikir secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berfikir dengan mengupas sesuatu dalam-dalam. Aktivitas tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus dari hal yang tersederhana sampai ke hal yang terkomplek.[3] Senada dengan itu ada yang memdefinisikan  Filsafat adalah berfikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalang-halangi kerja pikiran. Radikal artinya berfikir sampai ke akar-akar masalah (mendalam) bahkan sampai melewati batas-batas fisik atau yang disebut metafisis. Sedang berfikir dalam tahap makna berarti menemukan makna terdalam dan suatu yang terkandung didalamnya. Makna tersebut bisa berupa nilai-nilai seperti kebenaran, keindahan maupun kebaikan.[4]
Mengacu pada konsep filosofis di atas, seorang guru dalam menggunakan media pembelajaran perlu memperhatikan landasan filosofis. Artinya penggunaan media mestinya didasarkan pada nilai kebenaran yang telah ditemukan dan disepakati banyak orang. Baik kebenaran akademik maupun kebenaran sosial.
Misalnya, isi pesan materi yang disampaikan kepada siswa seharusnya sudah merupakan kebenaran yang teruji secara obyektif, radikal, dan empiris. Media yang digunakan guru juga perlu dicek kembali kebenaran dan ketepatannya. Guru yang memilih media belum sesuai dengan materi yang akan disampaikan berarti media tersebut tidak benar, tidak bagus dan tidak indah. Artinya penggunaan media yang tidak tepat belum mempertimbangkan landasan filosofisnya.

2.        Landasan Psikologis.
Landasan psikologis penggunaan media pembelajaran ialah alasan atau rasional mengapa media pembelajaran dipergunakan ditinjau dari kondisi psikologi pebelajar dan bagaimana proses belajar itu terjadi.Walaupun telah diketahui adanya pandangan yang berbeda tentang belajar dan bagaimana belajar itu terjadi, namun dapat dikatakan bahwa belajar itu adalah suatu proses yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku oleh adanya pengalaman. Perubahan perilaku itu dapat berupa bertambahnya pengetahuan, diperolehnya keterampilan atau kecekatan dan berubahnya sikap seseorang yang telah belajar. Pengetahuan dan pengalaman itu diperoleh melalui pintu gerbang alat indera pebelajar karena itu diperlukan rangsangan (menurut teori Behaviorisme) atau informasi (menurut teori Kognitif), sehingga respons terhadap rangsangan atau informasi yang telah diproses itulah hasil belajar yang diperoleh yang besar kecilnya hasil, juga tidak terlepas dari kondisi psikologis saat menerima informasi tersebut.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi yang berbeda ini juga bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara individu-individu lainnya. Interaksinya yang tercipta dalam situasi pembelajaran seharusnya sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun pendidiknya.[5] Perkembangan atau kemajuan-kemajuan yang dialami anak sebagian besar terjadi karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan, pengingatan, pembiasaan, pemahaman, penerapan maupun pemecahan masalah. Pendidik melakukan berbagai upaya dan menciptakan berbagainkegiatan dengan dukungan berbagai media pembelajaran agar anak-anak belajar. Proses pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistematik dan mendalam. Studi yang demikian merupakan bidang kajian dari psikologi belajar.
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari media pembelajaran, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan memilih dan menerapkan media serta teknik-teknik evaluasi.

1)        Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermetozoid dengan sel telur sampai dewasa.
a.         Metode dalam psikologi perkembangan
Pengetahuan tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik atau studi kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan,dari saat lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Willard C. Olson.
Metode cross sectional pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribi-ribu anak dari berbagai tingkat usia, mencatat ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan kemampuan serta perilakumereka.
Metode psikoanalitik dilakukan oleh Sigmund Fred beserta para pengikutnya. Studi ini lebih banyak diarahkan mempelajariperkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita). Menurut mereka, pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita ini dapat mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya.
Metode sosiologik digunakan oleh Robert Havighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugasyang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Tuntutan akan tugas-tugas kehidupan masyarakat ini oleh Havighurst disebut sebagai tugas-tugas perkembangan(develomental Task).
Metode lain yang sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan mempelajarikasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik bebrapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian pernah dilakukan oleh Jean Piaget tentang perkembangan kognitif anak.[6]
Anak dan orang dewasa merupakan kesatuan jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisahkan dan menunjukan karakteristik-karakteristik tertentu yang khas. Individu manusia adalah sesuatu yang kompleks tetapi unik. Ia memiliki banyak aspek, seperti aspek jasmani, intelektual, sosial, emosional, moral, tetapi keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang khas.  
b.      Teori perkembangan
Dikenal ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu perkembangan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial(differential approach), dan pendekatan ipsatif(ipsative approach).
Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya.
Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita mengenal ada kelompok berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status sosial dan sebagainya. Pengelompokan individu adakalanya juga didasarkan atas kesamaan karakteristiknya.
Kedua pendekatan tersebut berusaha untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku untuk semua individu. Adapun pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah yang dikelompokan sebagai pendekatan ipsatif.
Dari ketiga pendekatan itu yang banyak dianut oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pendekatan pentahapan. Dalam pendekatan ini, dikenal dua variasi, yaitu:
1.      pendekatan yang bersifat menyeluruh, mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik dan gerakan motorik, sosial, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya.
2.      Pendekatan yang bersifat khusus, mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangannya saja
Dalam pentahapan yang bersifat menyeluruh dikenal tahap-tahap perkembangan dari Jean Jacques Rousseu, G. Stanley Hall, Havighurst, dan lain-lain.
Sementara itu, Rousseau membagi seluruh masa perkembangan anak atas empat tahap perkembangan, yaitu:
1.      Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun merupakan tahap perkembangan fisik
2.      Masa anak (childhood), usia 2-12 tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitif
3.      Masa remaja awal (pubescence), usia 12-15 tahun, masa petualangan yang ditandai dengan perkembangan intelektual dan kemampuan nalar yang pesat
4.      Masa remaja (adolescence), usia 15-25 tahun masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa pertumbuhan seksual, sosial, moral dan kata hati.
Seoarang ahli Psikologi perkembangan menganut teori evolusi, Stanley Hall memiliki pendapat berbeda tentang perkembangan anak. Hall menerapkan teori rekapitulasi, salah satu konsep dalam teori evolusi, pada perkembangan anak atas empat tahap sebagai berikut:
1.    Masa kanak-kanak (infancy), usia 0-4 tahun, merupakan masa kehidupan sebagai binatang melata dan berjalan.
2.    Masa anak (childhood), usia 4-8 tahun, masa manusia pemburu.
3.    Masa puber (youth), usia 8-12 tahun, masa manusia belum beradab.
4.    Masa remaja (adolescence), usia 12/13 sampai dewasa, merupakan masa manusia beradab.
Sedangkan Robert J. Havighurst menyusun fase-fase perkembangan atas dasar problema-problema yang herus dipecahkan dalam setiap fase. Havighurst membagi seluruh masa perkembangan anak sampai lima fase, yaitu:
1.      Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun.
2.      Masa anak awal (early childhood), usia 2/3-5/7 tahun.
3.      Masa anak (late childhood), usia dari 5/7 tahun sampai masa pubesen.
4.      Masa adolesen awal (early adolescence), usia dari pubesen ke pubertas.
5.      Masa adolesen (late adolescence), dari pubertas sampai dewasa
Ada sepuluh kelompok tugas perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase yang membentuk pola, yaitu pola:
1)   Kebergantungan-Keberdirisendirian.
2)   Memberi-Menerima kasih sayang
3)   Hubungan sosial.
4)   Perkembangan kata hati.
5)   Peran bio-sosial dan psikologis.
6)   Penyesuaian dengan perubahan badan.
7)   Penguasaan perubahan badan dan motorik.
8)   Belajar memahami dan mengontrol lingkungan fisik.
9)   Pengembangan kemampuan konseptual dan sistemsimbol.
10)    Kemampuan melihat hubungan dengan alam semesta.[7]
Dalam pendekatan pentahapan yang bersifat khusus, kita mengenal pentahapan-pentahapan dari Piaget, Kohlberg, Erikson dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognutif menurut Jean Piaget, yang terpenting adalah penguasaaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan konsep-konsep itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapi dalam kehidupannya.
Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut konsep Piaget, yaitu:
1.      Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun.
Disebut juga masa descriminating and labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak reflek, bahasa awal, waktu sekarang, dan ruang yang dekat saja.
2.      Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun
Masa praoperasional atau prakonseptual disebut juga masa intuitifdengan kemampuan menerima perangsang yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, pemikirannya masih statis dan belum dapat berfikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas.
3.      Tahap konkrit operasional, usia 7-11 tahun
Disebut juga dengan masa peforming operation. Pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat dan membagi.
4.      Tahap formal operasional, usia 11-15 tahun
Masa ini bisa juga disebut dengan masa proportional thinking. Pada masa ini anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berfikir abstrak dan berfikir reflektif, serta memecahkan berbagai masalah.
Teori perkembangan anak di atas sangat diperlukan dalam memilih, menggunakan, serta menciptakan media pembelajaran. Kesesuaian antara teori perkembangan dengan jenis dan desain media yang diterapkan akan menentukan tingkat efektifitas media dan ketuntasan belajar peserta didik. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui dan menjadikan teori perkembangan sebagai landasan dalam memilih media pembelajaran.

2)        Psikologi Belajar
Psikologi Belajar perlu juga dipertimbangkan guru dalam memilih media pembelajaran. Pertimbangan bagaimana anak belajar, motivasi belajar, serta aspek lain sangat diperlukan. Dalam pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan psikologi belajar di bawah ini:
a.       seleksi dan organisasi bahan pelajaran.
b.      Menentukan kegiatan belajar mengajar yang menarikdan efektif.
c.       Merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai
Apa yang akan dipelajari memerlukan pengenalan perkembangan anak, akan tetapi bagaimana anak belajar membutuhkan pengetahuan tentang berbagai teori belajar. Ada beberapa teori belajar yang banyak diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar, diantaranya :
a.       Teori ilmu jiwa atau mental disiplin.
b.      Ilmu jiwa asosiasi, teori S.R
c.       Teori Gestalt
d.      Teori apersepsi herbart.[8]
Dalam penggunaan media pembelajaran guru juga dituntut untuk memperhatikan kondisi psikologis anak didik yang perkembangannya cukup beragam tersebut. Pemilihan media pembelajaran tidak bisa disamakan antara anak yang belum sempurna perkembangan psikologisnya dengan anak yang sudah sempurna perkembangan psikologisnya. Sebab media pembelajaran tidak bisa berfungsi secara optimal jika tidak sesuai dengan perkembangan psikologis anak didik. Anak tidak akan bisa mengambil makna pembelajaran melalui media yang tidak sesuai dengan modalitas dan psikologisnya.
Penggunaan media untuk anak usia dini pasti berbeda dengan penggunaan media untuk anak usia remaja atau setingkat SMU meskipun judul materi pembelajarannya sama. kenapa harus berbeda ?. Sebab kemampuan berfikir antara anak usia dini dengan anak remaja berbeda. Anak usia dini belum bisa berfikir abstrak sehingga media yang digunakan sebaiknya mengarah pada proses berfikir konkrit. Sedangkan anak usia remaja telah bisa berfikir abstrak sehingga media yang digunakan tidak harus bersifat konkrit.
Pendek kata, aspek psikologis perlu dipertimbangkan dalam penggunaan media pembelajaran. Guru perlu lebih jeli dalam memilih media pembelajaran agar sesuai dengan kondisi psikologis anak didik dalam satu kelas. Kesesuaian media dengan kondisi psikologisanak akan menjadikan pembelajaran makin optimal dan tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kesesuaian jenis media dengan tahap psikologis anak akan meningkatkan perhatian (atensi), kognisi, afeksi, imajinasi, refleksi, dan motivasi peserta didik.

3.        Landasan Sosiologis
Penggunaan media pembelajaran tidak bisa dilepaskan dengan kondisi sosiologis peserta didik. Sebab, kondisi sosiologis juga mempengaruhi respon peserta didik terhadap jenis media yang digunakan guru dalam pembelajaran. Kesesuaian media dengan kondisi sosial anak didik dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi media yang digunakan. Sebaliknya penggunaan media pembelajaranyang tidak sesuai kondisi sosial peserta didik akan menimbulkan bias dalam pembelajaran, karena fokus peserta didik tidak pada isi media namun pada media itu sendiri.
Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam kontek itulah peserta didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia yang berbudaya. Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia yang diwujudkan dalam tiga gejala, yakni (1) ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain, (2) kegiatan, yakni tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) benda hasil karya manusia.
Pendidikan sebagai proses budaya adalah upaya membina dan mengembangkan cipta, karsa, dan rasanya dalam ketiga wujud di atas. Wujud pertama, yakni ide dan gagsan yang sifatnya abstrak, adanya dalam fikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada. Gagasan tersebut memberi jiwa dan makna bagi kehidupan manusia dalam masyarakat, sehingga menjasi suatu sistem
Wujud kedua dari kebudayaan adalah kegiatan atau tindakan yang berpola dari manusia, yakni aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya konkrit, bisa dilihat dan diobservasi. Tindakan berpola, artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide/gagasan, norma, dan aturan yang telah dimilikinya. Sedangkan wujud ketiga dari kebudayaan adalah seluruh hasil fisik perbuatan atau karyamanusia dalam masyarakat.
Keseluruhan dari tindakan manusia yang berpola teramat banyak jumlahnya, yang dapat dikategorikan dalam dua unsur, yakni:
1.      unsur yang bersifat universal, artinya kebudayaan yang berlaku umum bagi setiap manusia di muka bumi ini.
2.      Unsur yang bersifat khusus, artinya dalam kebudayaan yang sifatnya universal tersebut ada unsur-unsur yang khusus
Kluckhom (dalam Sudjana, 2002: 12) membagi tujuh kategori kebudayaan universal, yakni:
1.      Bahasa.
2.      Sistem pengetahuan.
3.      Organisasi Sosial.
4.      Sistem peralatan dan teknologi
5.      Sistem mata pencaharian
6.      Sistem religi.
7.      Kesenian.
Setiap unsur kebudayaan universal di atas mengandung tiga wujud kebudayaan. Unsur khusus dari setiap kebudayaan universitas akan terdapat di dalamnya. Misalnya bahasa, secara universal setiap manusia mempunyai bahasa, namun bahasa tersebut untuk setiap masyarakat atau negara bisa berbeda satu sama lain.
Dalam konteks ini, pendidikan dituntut bisa mengantisipasi tuntutan hidup sehingga mampu menyiapkan peserta didik untuk dapat hidup wajar sesuai dengan sosial budaya masyarakat. Karena alasan inilah media pembelajaran perlu disesuaikan dengan perkembangan sosial yang terjadi di sekitar peserta didik.
Dalam proses tersebut peranan komunikasi sangat penting, sebab hakikat teknologi pengajaran adalah upaya guru mempengaruhi siswa agar dapat mencapai tujuan penddikan . Oleh sebab itu, landasan sosial teknologi pengajaran ada pada komunikasi insani. Berkomunikasi merupakan kegiatan manusia, sesuai dengan naluriahnya yang selalu ingin berhubungan satu sama lain, saling berinteraksi dan saling membutuhkan. Keinginan untuk berhubungan di antara sesamanya sesungguhnya merupakan naluri manusia yang ingin hidup berkelompok atau bermasyarakat. Dengan adanya naluri tersebut, maka komunikasi dapat dikatakan merupakan bagian hakiki dari kehidupanya yang senantiasa hidup bermasyarakat. Dengan kata lain, manusia akan kehilangan hakekatnya sebagai manusia bila ia tidak melakukan kegiatan komunikasi dengan sesamanya. Dalam Proses belajar pada hakekatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses  penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran atau media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran atau media dan penerima pesan adalah komponen komponen komunikasi. Pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran atau didikan yang ada di kurikulum, sumber pesan bisa guru, peserta didik, orang lain atau penulis buku dan produser media, saluranya adalah media pendidikan dan penerima pesan adalah peserta didik atau juga guru. Proses pengoperan dan penerimaan lambang- lambang yang mengandung makna dimaksudkan bahwa makna lambang dalam perjanjian umum, baik oleh pihak pemakai lambang (komunikator) maupun oleh penerima lambang (komunikan), diartikan sama. Dalam hubungan ini Wilbur Schramm menjabarkan pengertian umum komunikasi itu ke dalam tiga kategori pokok dengan beberapa istilah yaitu ; 1)     Enconder, yaitu komunikator, guru yang mempunyai informasi tertentu dan benar, mampu mengirimkan informasi tersebut secara tepat pada kecepatan optimal, dan sampai kepada penerima informasi, yaitu para siswanya. 2)    Sign/ signal, yaitu pesan, berita, atau pernyataan tertentu yang ditujukan kepada dan diterima oleh seseorang atau kelompok orang penerima
3)    Decoder, yaitu  komunikan yang dalam konteks pendidikan adalah siswa yang menerima pesan tertentu, mampu memahami isi pesanya yang diterima.
Tujuan Komunikasi Terdapat beberapa tujuan komunikasi diantaranya :
a)    Tujuan  komunikasi bersifat informatif yang berhubungan dengan pikiran manusia.
b)    Tujuan komuniksi bersifat persuasif yang berkaitan dengan usur kejiwaan manusia.
c)    Tujuan komunikasi bersifat hiburan yang berhubungan dengan unsur kejiwaan manusia juga. 
Akan tetapi, tujuan pokok komunikasi adalah mengubah hubungan asli antara diri kita dengan lingkungan di tempat kita berada. Dengan demikian tujuan komnunikasi yang utama adalah mempengaruhi orang lain atau mempengaruhi lingkungan fisik kita dan menjadikan diri kita sebagai agen yang dapat mempengaruhi, agen yang bisa menentukan terhadap lingkungan kita untuk dijadikan sesuatu yang kita kehendaki.
 Media pendidikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan dapat membantu mengatasi hal tersebut. Perbedaan gaya belajar, minat, integensia, keterbatasan indera, cacat tubuh atau hambatan jenis geografis, jarak waktu dan sebagainya dapat dibantu diatasi dengan pemanfaatan media pendidikan.
Dalam menggunakan media, guru perlu mempertimbangkan latar belakang sosial anak didik dalam sekolah. Sebab jika media yang digunakan tidak sesuai latar belakang sosial anak didik maka materi pelajaran atau pesan yang dikirim tentunya tidak bisa tersampaikan secara optimal. Bahkan pembelajaran akan menjadi bias karena media yang digunakan guru tidak sesuai dengan kondisi sosial anak didik.
Misalnya, seorang guru yang mengajar di sekolah yang rata-rata siswanya berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial kurang maju secara teknologi. Mereka belum pernah melihat tampilan slide berbasis komputer, lalu guru menyampaikan materi dengan menggunakan LCD dan dihiasi dengan berbagai animasi gambar, maka siswa akan lebih memperhatikan kecanggihan media dan animasi yang ditampilkan sementara itu, materi pelajaran tidak diperhatikan sehingga pembelajaran menjadi bias karena media yang dipilih tidak sesuai kondisi sosial anak didik. Begitu sebaliknya, guru yang mengajar di sekolah yang anak didiknya berasal dari keluarga yang kondisi sosialnya lebih maju dan sehari-hari telah berinteraksi dengan komputer serta jenis media berbasis komputer lainnya. Maka saat guru memilih media yang tradisional siswa akan makin menurun motivasi belajarnya dan tidak fokus pada materi yang disampaikan guru. Padahal di antara fungsi dan manfaat media pembelajaran adalah untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam pembelajaran.
Untuk itu, landasan sosiologis perlu dipertimbangkan guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran. Guru perlu menganalisis latar belakang sosial anak didik dalam menggunakan media pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi kesesuaian media dengan kondisi sosial anak didik.

4.        Landasan Historis Media Pembelajaran
Yang dimaksud dengan landasan historis media pembelajaran ialah rasional penggunaan media pembelajaran yang ditinjau dari sejarah konsep istilah media digunakan dalam pembelajaran. Untuk mengetahui latar belakang sejarah penggunaan konsep media pembelajaran marilah kita ikuti penjelasan berikut ini.
Perkembangan konsep media pembelajaran sebenarnya bermula dengan lahirnya kon-sepsi pengajaran visual atau alat bantu visual sekitar tahun 1923.Yang dimaksud dengan alat bantu visual dalam konsepsi pengajaran visual ini adalah setiap gambar, model, benda atau alat yang dapat memberikan pengalaman visual yang nyata kepada pebelajar. Kemudian kosep pengajaran visual ini berkembang menjadi “audio visual instruction” atau “audio visual education” yaitu sekitar tahun 1940. Sekitar tahun 1945 timbul beberapa variasi nama seperti “audio visual materials”, “audio visual methods”, dan “audio visual devices”. Inti dari kosepsi ini adalah digunakannya berbagai alat atau bahan oleh guru untuk memindahkan gagasan dan pengalaman pebelajar melalui mata dan telinga. Pemanfaat-an konsepsi audio visual ini dapat dilihat dalam Cone of experience “Kerucut Pengalaman” dari Edgar Dale.[9]
Kerucut Pengalaman.[10]
Dari gambar tersebut dapat kita lihat rentangan tingkat pengalaman belajar dari yang bersifat langsung hingga ke pengalaman melalui simbol-simbol verbal, yang merupakan suatu rentangan dari yang bersifat konkret ke abstrak, pengetahuan akan semakin abstrak apabila pesan hanya disampaikan melalui kata verbal.[11] tentunya memberikan implikasi tertentu terhadap pemilihan metode, strategi, dan bahan pembelajaran, khususnya dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi pembelajaran.
Dalam kerucut pengalaman Edgar Dale terdapat empat jenis pengalaman belajar, yaitu:
a.       Mengamati dan berinteraksi dengan lambang verbal, misalnya mendengarkan ceramah.
b.      Mengamati dan berinteraksi dengan mediated events, misalnya menonton slide, video/VCD.
c.       Mengamati dan berinteraksi dengan actual events, misalnya fildtrif, demontration, sosiodrama (roleplay),
d.      Melakukan pengalaman langsung, misalnya: memasak, mencangkul kebun sekolah dan sebagainya.
Perbandingan perolehan hasil belajar melalui indera pandang dan idera dengar sangat menonjol perbedaannya. Kurang lebih 80% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, dan hanya 15% diperoleh oleh indera dengar, dan 5% lagi dari indera lainnya.[12] Teknologi pembelajaran pada saat itu masih condong ke pendekatan media, oleh karena itu merupakan model klasifikasi media yang bertolak pada teori komunikasi
Pemikiran Edgar Dale tentang kerucut pengalaman ini merupakan upaya awal unruk memberikan alasan atau dasar tentang keterkaitan antara teori belajar dengan komunikasi audiovisual. Kerucut pengalam Dale telah menyatukan teori pendidikan John Dewey dengan gagasan-gagasan dlam bidang psikologi yang tengah populer pada masa itu.
Perkembangan besar berikutnya adalah munculnya gerakan yang disebut “audio visual communication” pada tahun 1950-an. Dengan diterapkannya konsep komunikasi dalam pembelajaran, peekanan tidak lagi diletakkan pada benda atau bahan yang berupa bahan audio visual untuk pembelajaran, tetapi dipusatkan pada keseluruhan proses komu-nikasi informasi atau pesan dari sumber (guru, materi atau bahan) kepada penerima (pebelajar). Gerakan komunikasi audio visual memberikan penekakan kepada proses komunikasi yang lengkap dengan menggunakan sistem pembelajaran yang utuh. Jadi konsepsi audio visual berusaha mengaplikasikan konsep komunikasi, sistem, disain sistem pembelajaran dan teori belajar dalam kegiatan pembelajaran. Perkembangan berikutnya terjadi sekitar tahun 1952 dengan munculnya konsepsi “instructional materials” yang secara kosepsional tidak banyak berbeda dengan konsepsi sebelumnya. Karena pada intinya konsepsi ini ialah mengaplikasikan proses komunikasi dan sistem dalam merencanakan dan mengembangkan materi pembelajaran. Beberapa istilah yang merupakan variasi penggunaan konsepsi “instructional materials” adalah “teaching/ learning materials”, “learning resources”. Dalam tahun 1952 ini juga telah digunakan istilah “educational media” dan “instructional media”, yang sebenarnya secara konsepsional tidak mengalami perubahan dari konsepsi sebelumnya, karena di sini dimaksudkan untuk menunjukkan kegiatan komunikasi pendidikan yang ditimbulkan dengan penggunaan media tersebut. Puncak perkembangan konsepsi ini terjadi sekitar tahun 1960-an. Dengan mengaplikasikan pendekatan sistem, teori komunikasi, pengembangan sistem pembelajaran, dan pengaruh psikologi Behaviorisme, maka muncullah konsep “educational technology” dan/ atau “instructional technology” di mana media pendidikan atau media pembelajaran merupakan bagian dari padanya.

5.        Landasan Teknologis.
Definisi Teknologi Pembelajaran menurut AECT “ teknologi pembelajaran adalah teori dan praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar”.[13] Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa teknologi pembelajaran pada awalnya sama dengan media pembelajaran yang lahir dari revolusi komunikasi. Dalam perkembangan selanjutnya teknologi pembelajaran merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri yang bukan hanya terbatas pada media dalam bentuk peralatan fisik semata, melainkan merupakan kajian dan praktik etis dalam mendesain, mengembangkan, menggunakan, mengelola dan mengevaluasi proses dan sumber teknologi yang sesuai untuk memfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja tenaga pendidik, peserta didik dan organisasi kependidikan.[14]
Rumusan tentang teknologi pembelajaran telah mengalami beberapa perubahan, sejalan dengan sejarah dan perkembangan dari teknologi pembelajaran itu sendiri. Pengertian teknologi pembelajaran berkembang sebagai akibat dari meningkatnya tuntutan terhadap pendidikan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara konvesional.
Sasaran akhir dari teknologi pembelajaran adalah memudahkan pebelajar untuk belajar. Untuk mencapai sasaran akhir ini, teknolog-teknolog di bidang pembelajaran mengembangkan berbagai sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan setiap pebelajar sesuai dengan karakteristiknya. Dalam upaya itu, teknolog berkerja mulai dari pengembangan dan pengujian teori-teori tentang berbagai media pembelajaran melalui penelitian ilmiah, dilanjutkan dengan pengembangan disainnya, produksi, evaluasi dan memilih media yang telah diproduksi, pembuatan katalog untuk memudahkan layanan penggunaannya, mengembangkan prosedur penggunaannya, dan akhirnya menggunakan baik pada tingkat kelas maupun pada tingkat yang lebih luas lagi (diseminasi).
Semua kegiatan ini dilakukan oleh para teknolog dengan berpijak pada prinsip bahwa suatu media hanya memiliki keunggulan dari media lainnya bila digunakan oleh pebelajar yang memiliki karakteristik sesuai dengan rangsangan yang ditimbulkan oleh media pembelajaran itu. Dengan demikian, proses belajar setiap pebelajar akan amat dimudahkan dengan hadirnya media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik belajarnya.
Media pembelajaran sebagai bagian dari teknologi pembelajaran memiliki enam manfaat potensial dalam memecahkan masalah pembelajaran, yaitu:
a. Meningkatkan produktivitas pendidikan ( Can make education more productive).
Dengan media dapat meningkatkan produktivitas pendidikan antara lain dengan jalan mempercepat laju belajar siswa, membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik dan mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga guru lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belajar siswa.
b. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual (Can make education more individual). Pembelajaran menjadi lebih bersifat individual antara lain dalam variasi cara belajar siswa, pengurangan kontrol guru dalam proses pembelajaran, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan kesempatan belajarnya.
c. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran ( Can give instruction a more scientific base). Artinya perencanaan program pembelajaran lebih sistematis, pengembangan bahan pembelajaran dilandasi oleh penelitian tentang karakteristik siswa, karakteristk bahan pembelajaran, analisis instruksional dan pengembangan disain pembelajaran dilakukan dengan serangkaian uji coba yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
d. Lebih memantapkan pembelajaran (Make instruction more powerful).
Pembelajaran menjadi lebih mantap dengan jalan meningkatkan kapabilitas manusia menyerap informasi dengan melalui berbagai media komunikasi, di mana informasi dan data yang diterima lebih banyak,lengkap dan akurat.
e. Dengan media membuat proses pembelajaran menjadi lebih langsung/seketika (Can make learning more immediate). Karena media mengatasi jurang pemisah antara pebelajar dan sumber belajar, dan meng-atasi keterbatasan manusia pada ruang dan waktu dalam memperoleh informasi, dapat menyajikan “kekongkritan” meskipun tidak secara langsung.
f. Memungkinkan penyajian pembelajaran lebih merata dan meluas (Can make access to education more equal).[15]

6.  Landasan Empirik
Berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa ada interaksi antara pemanfaatan media dan karakteristik pebelajar dalam menentukan hasil belajar siswa. Pemanfaatan media adalah penggunaan yang sistematis dari sumber untuk belajar.[16]  Artinya bahwa pebelajar akan mendapat keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristiknya. Pebelajar yang memiliki gaya visual akan lebih mendapat keuntungan dari penggunaan media visual, seperti film, video, gambar atau diagram; sedangkan pebelajar yang memiliki gaya belajar auditif lebih mendapatkan keuntungan dari penggunaan media pembelajaran auditif, seperti rekaman, radio, atau ceramah guru.[17] Atas dasar ini, maka prinsip penyesuaian jenis media yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran dengan karakteristik individual pebelajar, menjadi semakin mantap. Pemilihan dan penggunaan media hendaknya jangan didasarkan pada kesukaan atau kesenangan guru, tetapi dilandaskan pada kecocokan media itu dengan karakteristik pebelajar, disamping kriteria lain, seperti kepraktisan dan kemudahan mendapatkannya
7. Landasan Religius 
Menurut Drs Mahfudh Shalahuddin dalm bukunya Media Pendidikan Islam menyatakan ada beberapa dasar penggunaan media diantaranya adalah dasar religius yang berkenaan dengan penggunaan media pembelajaran. Dalam masalah penerapan media pendidikan agama, harus memperhatikan jiwa keagamaan pada anak didik. Oleh karena faktor inilah yang justru menjadi sasaran media pendidikan agama yang sangat prinsipil. Dengan tanpa memperhatikan serta memahami perkembangan jiwa anak atau tingkat daya fikir anak
 Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 125 :

ادْعُ إِلىٰ سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ   وَ جٰا دِ لْهُمْ بِا لَّتِي هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِ يْنَ
Artinya :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. 
Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Bermacam-macam orang mengartikan kata “Hikmah” dalam arti “Bijaksana.” Adapula yang mengartikan hikmah dengan cara yang tepat dan efektif. Dapat disimpulkan bahwa hikmah adalah cara yang bijaksana, tepat, efektif, dan dapat diterima dengan akal. Oleh karena itu tugas pengamatan yang pertama harus dilakukan oleh guru agama sebagai pendidik ialah pengamatan langsung kepada perkembangan keagamaan anak didik. Sebab perkembangan sikap keagamaan anak sangat erat hubungannya dengan sikap percaya kepada Tuhan, yang telah diberikan di lingkungan keluarga atau masyarakat, yang selanjutnya dapat dijadikan bahan dasar pengertian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan metode yang dipakai dalam proses belajar mengajar. 
Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, maka ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media, di samping memperhatikan kompleksitas dan keunikan proses belajar, memahami smakna persepsi serta factor-faktor yang berpengaruh terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.
Telah disebutkan banyak sekali yang melandasi penggunaan media pembelajaran, seperti landasan teknologis, filosofis, psikologis, sosiologis, religius dan historis. Dari masing- masing landasan memaparkan pentingnya mengapa kita harus menggunakan media dalam pembelajaran. Seperti halnya landasan filosofis yang membicarakan tentang hakekat dan mengapa diperlukan  media pembelajaran yang tidak lain karena kehidupan yang semakin  maju dan itu mempengaruhi pengetahuan, karena dengan pengetahuan, kita akan menuju masyarakat yang memiliki peradaban. Maka tak dapat dipungkiri dalam dunia pendidikan sendiri perlu adanya perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak mungkin disampaikan secara tradisional atau klasikal, akan tetapi perlulah teknologi untuk mendukung proses pembelajaran. Agar peserta didik lebih berpikir realistik dan memiliki kecerdasan intelektual. Landasan ini hampir sama dengan landasan teknologis. Untuk sosiologis, yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Tentunya dalam kita hidup perlunya kita berkomunikasi. Dalam proses belajar mengajar komunikasi ini dilakukan antara guru dan peserta didik.  Didalam komunikasi antara guru dan peserta didik, pengajar akan tahu karakteristik siswa, bagaimana psikologi dari masing- masing murid yang diajarkan, sehingga guru lebih paham media yang seperti apa yang cocok untuk siswanya.
Dalam dunia pendidikan modern saat ini, bagaimanakah pengaruh media pembelajaran dalam proses belajar-mengajar, tentunya sangat membantu pesrta didik untuk lebih mengenal objek apa yang sedang dipelajarinya. Peserta didik juga dapat menumbuhkembangkan kemampuan yang lebih dengan alat teknologi. Diharapkan siswa dapat memenuhi sumber daya manusia yang dibutuhkan, untuk menghadapi globalisasi yang merajalela. Alat teknologi memang diperuntukan bukan untuk dunia  pendidikan, akan tetapi, apabila alat tersebut bisa diterapkan dalam pendidikan  dan bisa bermanfaat untuk pendidikan, maka hal itu sangat membantu untuk mencapai tujuann pendidikan nasional. Akan tetapi, pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan objek yang diamatinya. Bahan pembelajaran yang  diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Dari ketiga landasan tersebut sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu memudahkan peserta didik dalam menerima pembelajaran agar siswa lebih memahani dan mengena apa yang dijelaskan guru kepada mereka.
B.       Kesimpulan 
Secara garis besar terdapat tujuh landasan  penggunaan media pembelajaran, yaitu: landasan psikologis, sosiologis,landasan teknologis, Filosofis, Historis, Empirik dan Religius. Landasan psikologis menggaris bawahi bahwa dalam menggunakan media pembelajaran hendaknya seorang guru mengetahui kecenderungan minat dan keinginan siswa agar nantinya materi yang diajarkan lebih mengena dan memahamkan. Sedangkan landasan sosiologis menekankan kepada cara guru dan peserta didik dalam berkomunikasi. Landasan teknologis menitikberatkan pada alat- alat yang memudahkan peserta didik dalam pembelajaran. Untuk landasan historis menegenai sejarah penggunaan media pembelajaran. Dan landasan filosofis berbicara tentang hakekat, mengapa perlu adanya media dalam pendidian. Untuk yang terakhir yaitu, landasan religious yang berisi tentang bagaimana Al-Quran memandang media dalam pembelajaran itu. Dari beberapa landasan yang sudah ada diharapkan kita tidak perlu rau lagi menggunakan alat dalam pembelajaran asal tepat memilihnya. Dan  diharapkan alat  atau media yang digunakan dapat membantu peserta didik mencapai tujuan akhir pendidikan.





[1] Yamin dalam H.M Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran.  Jakarta. Prestasi Pustaka. 2012. Hal 25
[2] Amin Abdullah,Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat lAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000
[3] Kuncjojo. Fisafat Ilmu, Universitas Nusantara, Pgri, Kediri 2009
[4] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Suatu Tinjauan Ontologis'", dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam: kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Prospektif, Yogyakrta, LESFI, 1993
[5] Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta. Prestasi Pustaka.2012. hal.58
[6] Sukmadinata dalam Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta. Prestasi Pustaka. 2012. Hal.60
[7] Sukmadinata dalam Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta. Prestasi Pustaka. 2012. Hal.62
[8] Nasution dalan Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Belajar. Jakarta. Prestasi Pustaka. 2012 hal. 64
[9] Bambang Warsita. Teknologi Pembelajaran Landasan & Aplikasinya. Jakarta. Rineka Cipta. 2008. Hal.12
[10] Mochamad Nursalim. Pengembangan Media Bimbingan & Konseling. Jakarta. Akademia. 2013. Hal. 7
[11] ibid
[12] Rusman. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer Mengembangkan Profesionalisme Guru Abad 21.  Bandung. Alfa Beta. 2013. Hal. 165
[13] Seels & Richey dalam Bambang Warsita. Teknologi Pembelajaran Landasan & Aplikasinya. Jakarta. Rineka Cipta. 2008. Hal.13

[14] Azhar Arsyad. Media Pembelajaran. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2013. Hal.7
[15] Rayandra Asyhar. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta. Gaung Persada. 2011. Hal. 24
[16] Deni Darmawan. Inovasi Pendidikan Pendekatan praktik Teknologi Multi Media dan Pembelajaran Online. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2012. Hal. 23     
[17] ibid Hal. 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar