PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Proses pembelajaran merupakan proses interaksi
antara siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang
mengkondisikan terjadinya pembelajaran. Dalam interaksi tersebut dibutuhkan
komponen-komponen seperti; ada indikator yang hendak dicapai, ada materi pokok
yang menjadi muatan interaksi, ada penjajakan kemampuan awal yang dimiliki
siswa, ada siswa yang aktif, ada guru sebagai fasilitator, ada sinkronisasi
metode, ada situasi dan lingkungan yang mendukung sehingga terjadi proses
pembelajaran, ada beberapa tagihan kompetensi terhadap hasil interaksi.
Komponen-komponen tersebut tidak dapat dipisah-pisahkandalam proses
pembelajaran.[1]
Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan siswa
dihadapakan pada materi pelajaran yang relatif lebih komplek dan bobot materi
yang lebih berat, karena itu untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran guru
diharapkan dapat memfasilitasi proses pembelajaran dengan baik agar pesan yang
disampaikan dalam materi dapat difahami siswa dengan baik salah satunya adalah
dengan menggunakan media yang tepat dalam proses pembelajaran.
Perkembangan media pembelajaran dipengaruhi
dipengaruhi perkembangan teknologi komunikasi yang lebih awal muncul. Kalau
dilihat perkembangannya, pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat bantu
mengajar guru. Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya:
gambar, model, objek, dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman
konkrit, motivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar
siswa.
. B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas,
dapat di rumuskan masalah, yaitu : Apasajakah landasan
penggunaan media pembelajaran ?
PEMBAHASAN
A. Landasan
Penggunaan Media Dalam Pembelajaran
Penggunaan media dalam pembelajaran dapat
membantu guru dan siswa dalam memahami materi pembelajaran. Ketepatan memilih
media merupakan faktor utama dalam mengoptimalkan hasil pembelajaran. Untuk
memilih media yang tepat seorang guru perlu mempertimbangkan berbagai landasan
agar media yang dipilih benar-benar sesuai dengan tingkat pemahaman, kemampuam
berpikir, psikologis, dan kondisi sosial siswa. Sebab penggunaan media yang
tidak sesuai dengan kondisi anak akan menyebabkan tidak optimalnya fungsi media
yang digunakan.
Ada tujuh landasan penggunaan media
pembelajaran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi guru dalam memilih media
yang tepat, sesuai isi dan tujuan dalam pembelajaran. Ketujuh landasan tersebut
adalah landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologi, landasan historis,
landasan teknologis, landasan empirik dan landasan religius
1.
Landasan Filosofis
Proses pembelajaran tidak lepas dari usaha
pencarian kebenaran yang terdiri dari kegiatan berlogika, beretika, dan
berestetika. Dalam pembelajaran guru dan siswa berusaha mencari mana yang benar
dan mana yang salah. Proses pencarian kebenaran inilah yang merupakan ranah
filsafat, yaitu berlogika. Selain itu, guru dan siswa juga melakukan kegiatan
dalam pembelajaran untuk mencari mana yang baik dan mana yang buruk, yang
merupakan kegiatan filsafat ranah etika. Begitu pula saat berestetika,
persoalan-persoalan in membutuhkan jawaban secara jelas melalui jawaban
filosfis.
Filsafat bisa diartikan: (1)
sebagai aliran atau hasil pemikiran, yakni berupa sistem pemikiran yang
konsisten dan dalam tarap tertentu sebagai sistem tertutup (closed system), dan
(2) sebagai metode berfikir, yang dapat dicirikan: a. mencari ide dasar yang
bersifat fundamental (fundamental ideas), b) membentuk cara berfikir kritis
(critical thought), dan c) menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan
intelektual (intelectual freedom). Sebagai sebuah cabang filsafat, kurang lebih
sudut pandang inilah, filsafat ilmu melihat ilmu-ilmu sebagai obyek kajiannya.
Karenanya filsafat ilmu bisa juga disebut sebagai bidang yang unik, sebab yang
dipelajari adalah dirinya sendiri.[2] Berdasarkan
arti secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli
berusaha merumuskan definisi fisafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat
sebagai suatu usaha untuk berfikir secara radikal dan menyeluruh, suatu cara
berfikir dengan mengupas sesuatu dalam-dalam. Aktivitas tersebut diharapkan
dapat menghasilkan suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau
khusus dari hal yang tersederhana sampai ke hal yang terkomplek.[3]
Senada dengan itu ada yang memdefinisikan
Filsafat adalah berfikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna.
Bebas artinya tidak ada yang menghalang-halangi kerja pikiran. Radikal artinya
berfikir sampai ke akar-akar masalah (mendalam) bahkan sampai melewati
batas-batas fisik atau yang disebut metafisis. Sedang berfikir dalam tahap
makna berarti menemukan makna terdalam dan suatu yang terkandung didalamnya.
Makna tersebut bisa berupa nilai-nilai seperti kebenaran, keindahan maupun
kebaikan.[4]
Mengacu pada konsep filosofis di atas, seorang
guru dalam menggunakan media pembelajaran perlu memperhatikan landasan
filosofis. Artinya penggunaan media mestinya didasarkan pada nilai kebenaran
yang telah ditemukan dan disepakati banyak orang. Baik kebenaran akademik
maupun kebenaran sosial.
Misalnya, isi pesan materi yang disampaikan
kepada siswa seharusnya sudah merupakan kebenaran yang teruji secara obyektif,
radikal, dan empiris. Media yang digunakan guru juga perlu dicek kembali kebenaran
dan ketepatannya. Guru yang memilih media belum sesuai dengan materi yang akan
disampaikan berarti media tersebut tidak benar, tidak bagus dan tidak indah.
Artinya penggunaan media yang tidak tepat belum mempertimbangkan landasan
filosofisnya.
2.
Landasan Psikologis.
Landasan psikologis penggunaan media
pembelajaran ialah alasan atau rasional mengapa media pembelajaran dipergunakan
ditinjau dari kondisi psikologi pebelajar dan bagaimana proses belajar itu
terjadi.Walaupun telah diketahui adanya pandangan yang berbeda tentang belajar
dan bagaimana belajar itu terjadi, namun dapat dikatakan bahwa belajar itu
adalah suatu proses yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku oleh adanya
pengalaman. Perubahan perilaku itu dapat berupa bertambahnya pengetahuan,
diperolehnya keterampilan atau kecekatan dan berubahnya sikap seseorang yang
telah belajar. Pengetahuan dan pengalaman itu diperoleh
melalui pintu gerbang alat indera pebelajar karena itu diperlukan rangsangan
(menurut teori Behaviorisme) atau informasi (menurut teori Kognitif), sehingga
respons terhadap rangsangan atau informasi yang telah diproses itulah hasil
belajar yang diperoleh yang besar kecilnya hasil, juga tidak terlepas dari
kondisi psikologis saat menerima informasi tersebut.
Kondisi psikologis setiap individu
berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya,
juga karena perbedaan yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi yang berbeda ini
juga bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara individu-individu
lainnya. Interaksinya yang tercipta dalam situasi pembelajaran seharusnya
sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun pendidiknya.[5]
Perkembangan atau kemajuan-kemajuan yang dialami anak sebagian besar terjadi
karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan, pengingatan,
pembiasaan, pemahaman, penerapan maupun pemecahan masalah. Pendidik melakukan
berbagai upaya dan menciptakan berbagainkegiatan dengan dukungan berbagai media
pembelajaran agar anak-anak belajar. Proses pelaksanaannya membutuhkan studi
yang sistematik dan mendalam. Studi yang demikian merupakan bidang kajian dari
psikologi belajar.
Jadi, minimal ada dua bidang
psikologi yang mendasari media pembelajaran, yaitu psikologi perkembangan dan
psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan
memilih dan menerapkan media serta teknik-teknik evaluasi.
1)
Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan membahas
perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermetozoid
dengan sel telur sampai dewasa.
a.
Metode dalam psikologi perkembangan
Pengetahuan tentang perkembangan
individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional,
psikoanalitik, sosiologik atau studi kasus. Studi longitudinal menghimpun
informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian
perkembangan sepanjang masa perkembangan,dari saat lahir sampai dengan dewasa,
seperti yang pernah dilakukan oleh Willard C. Olson.
Metode cross sectional pernah
dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribi-ribu anak dari berbagai
tingkat usia, mencatat ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan
kemampuan serta perilakumereka.
Metode psikoanalitik dilakukan oleh
Sigmund Fred beserta para pengikutnya. Studi ini lebih banyak diarahkan
mempelajariperkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa
kanak-kanak (balita). Menurut mereka, pengalaman yang tidak menyenangkan pada
masa balita ini dapat mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya.
Metode sosiologik digunakan oleh
Robert Havighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan
tugas-tugasyang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Tuntutan akan
tugas-tugas kehidupan masyarakat ini oleh Havighurst disebut sebagai
tugas-tugas perkembangan(develomental Task).
Metode lain yang sering digunakan
untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan
mempelajarikasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik
bebrapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian pernah
dilakukan oleh Jean Piaget tentang perkembangan kognitif anak.[6]
Anak dan orang dewasa merupakan
kesatuan jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisahkan dan menunjukan
karakteristik-karakteristik tertentu yang khas. Individu manusia adalah sesuatu
yang kompleks tetapi unik. Ia memiliki banyak aspek, seperti aspek jasmani,
intelektual, sosial, emosional, moral, tetapi keseluruhannya membentuk satu
kesatuan yang khas.
b. Teori perkembangan
Dikenal ada tiga teori atau
pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu perkembangan pentahapan (stage
approach), pendekatan diferensial(differential approach), dan pendekatan
ipsatif(ipsative approach).
Menurut pendekatan pentahapan,
perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan mempunyai
karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya.
Pendekatan diferensial melihat bahwa
individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan
tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita
mengenal ada kelompok berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status sosial dan
sebagainya. Pengelompokan individu adakalanya juga didasarkan atas kesamaan
karakteristiknya.
Kedua pendekatan tersebut berusaha
untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku untuk semua individu.
Adapun pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah
yang dikelompokan sebagai pendekatan ipsatif.
Dari ketiga pendekatan itu yang
banyak dianut oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pendekatan
pentahapan. Dalam pendekatan ini, dikenal dua variasi, yaitu:
1. pendekatan yang bersifat menyeluruh,
mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik dan gerakan
motorik, sosial, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya.
2. Pendekatan yang bersifat khusus,
mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangannya saja
Dalam pentahapan yang bersifat
menyeluruh dikenal tahap-tahap perkembangan dari Jean Jacques Rousseu, G.
Stanley Hall, Havighurst, dan lain-lain.
Sementara itu, Rousseau membagi
seluruh masa perkembangan anak atas empat tahap perkembangan, yaitu:
1. Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun
merupakan tahap perkembangan fisik
2. Masa anak (childhood), usia 2-12
tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitif
3. Masa remaja awal (pubescence), usia
12-15 tahun, masa petualangan yang ditandai dengan perkembangan intelektual dan
kemampuan nalar yang pesat
4. Masa remaja (adolescence), usia
15-25 tahun masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa pertumbuhan seksual,
sosial, moral dan kata hati.
Seoarang ahli Psikologi perkembangan
menganut teori evolusi, Stanley Hall memiliki pendapat berbeda tentang
perkembangan anak. Hall menerapkan teori rekapitulasi, salah satu konsep dalam
teori evolusi, pada perkembangan anak atas empat tahap sebagai berikut:
1. Masa kanak-kanak (infancy), usia 0-4
tahun, merupakan masa kehidupan sebagai binatang melata dan berjalan.
2. Masa anak (childhood), usia 4-8
tahun, masa manusia pemburu.
3. Masa puber (youth), usia 8-12 tahun,
masa manusia belum beradab.
4. Masa remaja (adolescence), usia
12/13 sampai dewasa, merupakan masa manusia beradab.
Sedangkan Robert J. Havighurst
menyusun fase-fase perkembangan atas dasar problema-problema yang herus
dipecahkan dalam setiap fase. Havighurst membagi seluruh masa perkembangan anak
sampai lima fase, yaitu:
1. Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun.
2. Masa anak awal (early childhood),
usia 2/3-5/7 tahun.
3. Masa anak (late childhood), usia
dari 5/7 tahun sampai masa pubesen.
4. Masa adolesen awal (early
adolescence), usia dari pubesen ke pubertas.
5. Masa adolesen (late adolescence),
dari pubertas sampai dewasa
Ada sepuluh kelompok tugas
perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase yang membentuk pola,
yaitu pola:
1) Kebergantungan-Keberdirisendirian.
2) Memberi-Menerima kasih sayang
3) Hubungan sosial.
4) Perkembangan kata hati.
5) Peran bio-sosial dan psikologis.
6) Penyesuaian dengan perubahan badan.
7) Penguasaan perubahan badan dan
motorik.
8) Belajar memahami dan mengontrol
lingkungan fisik.
9) Pengembangan kemampuan konseptual
dan sistemsimbol.
10) Kemampuan melihat hubungan dengan
alam semesta.[7]
Dalam pendekatan pentahapan yang
bersifat khusus, kita mengenal pentahapan-pentahapan dari Piaget, Kohlberg,
Erikson dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari
kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognutif menurut Jean Piaget, yang
terpenting adalah penguasaaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan
konsep-konsep itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problema
yang dihadapi dalam kehidupannya.
Ada empat tahap perkembangan
kognitif anak menurut konsep Piaget, yaitu:
1. Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun.
Disebut juga masa descriminating and labeling. Pada masa ini
kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak reflek, bahasa awal, waktu sekarang,
dan ruang yang dekat saja.
2. Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun
Masa praoperasional atau prakonseptual disebut juga masa
intuitifdengan kemampuan menerima perangsang yang terbatas. Anak mulai
berkembang kemampuan bahasanya, pemikirannya masih statis dan belum dapat
berfikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas.
3. Tahap konkrit operasional, usia 7-11
tahun
Disebut juga dengan masa peforming operation. Pada tahap ini
anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun,
menderetkan, melipat dan membagi.
4. Tahap formal operasional, usia 11-15
tahun
Masa ini bisa juga disebut dengan masa proportional thinking.
Pada masa ini anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi. Mereka sudah mampu
berfikir abstrak dan berfikir reflektif, serta memecahkan berbagai masalah.
Teori perkembangan anak di atas
sangat diperlukan dalam memilih, menggunakan, serta menciptakan media
pembelajaran. Kesesuaian antara teori perkembangan dengan jenis dan desain
media yang diterapkan akan menentukan tingkat efektifitas media dan ketuntasan
belajar peserta didik. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui dan menjadikan
teori perkembangan sebagai landasan dalam memilih media pembelajaran.
2)
Psikologi Belajar
Psikologi Belajar perlu juga
dipertimbangkan guru dalam memilih media pembelajaran. Pertimbangan bagaimana
anak belajar, motivasi belajar, serta aspek lain sangat diperlukan. Dalam
pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan psikologi
belajar di bawah ini:
a. seleksi dan organisasi bahan
pelajaran.
b. Menentukan kegiatan belajar mengajar
yang menarikdan efektif.
c. Merencanakan kondisi belajar yang
optimal agar tujuan belajar tercapai
Apa yang akan dipelajari memerlukan
pengenalan perkembangan anak, akan tetapi bagaimana anak belajar membutuhkan
pengetahuan tentang berbagai teori belajar. Ada beberapa teori belajar yang
banyak diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar, diantaranya :
a. Teori ilmu jiwa atau mental
disiplin.
b. Ilmu jiwa asosiasi, teori S.R
c. Teori Gestalt
d. Teori apersepsi herbart.[8]
Dalam penggunaan media pembelajaran
guru juga dituntut untuk memperhatikan kondisi psikologis anak didik yang
perkembangannya cukup beragam tersebut. Pemilihan media pembelajaran tidak bisa
disamakan antara anak yang belum sempurna perkembangan psikologisnya dengan
anak yang sudah sempurna perkembangan psikologisnya. Sebab media pembelajaran tidak
bisa berfungsi secara optimal jika tidak sesuai dengan perkembangan psikologis
anak didik. Anak tidak akan bisa mengambil makna pembelajaran melalui media
yang tidak sesuai dengan modalitas dan psikologisnya.
Penggunaan media untuk anak usia
dini pasti berbeda dengan penggunaan media untuk anak usia remaja atau
setingkat SMU meskipun judul materi pembelajarannya sama. kenapa harus berbeda
?. Sebab kemampuan berfikir antara anak usia dini dengan anak remaja berbeda.
Anak usia dini belum bisa berfikir abstrak sehingga media yang digunakan
sebaiknya mengarah pada proses berfikir konkrit. Sedangkan anak usia remaja
telah bisa berfikir abstrak sehingga media yang digunakan tidak harus bersifat
konkrit.
Pendek kata, aspek psikologis perlu
dipertimbangkan dalam penggunaan media pembelajaran. Guru perlu lebih jeli
dalam memilih media pembelajaran agar sesuai dengan kondisi psikologis anak
didik dalam satu kelas. Kesesuaian media dengan kondisi psikologisanak akan
menjadikan pembelajaran makin optimal dan tercapai tujuan pembelajaran secara
efektif dan efisien. Kesesuaian jenis media dengan tahap psikologis anak akan
meningkatkan perhatian (atensi), kognisi, afeksi, imajinasi, refleksi, dan
motivasi peserta didik.
3.
Landasan Sosiologis
Penggunaan media pembelajaran tidak
bisa dilepaskan dengan kondisi sosiologis peserta didik. Sebab, kondisi
sosiologis juga mempengaruhi respon peserta didik terhadap jenis media yang
digunakan guru dalam pembelajaran. Kesesuaian media dengan kondisi sosial anak
didik dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi media yang digunakan.
Sebaliknya penggunaan media pembelajaranyang tidak sesuai kondisi sosial
peserta didik akan menimbulkan bias dalam pembelajaran, karena fokus peserta
didik tidak pada isi media namun pada media itu sendiri.
Pendidikan adalah proses sosialisasi
melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam kontek itulah
peserta didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai
dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia yang
berbudaya. Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia yang
diwujudkan dalam tiga gejala, yakni (1) ide, konsep, gagasan, nilai, norma,
peraturan, dan lain-lain, (2) kegiatan, yakni tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat, dan (3) benda hasil karya manusia.
Pendidikan sebagai proses budaya
adalah upaya membina dan mengembangkan cipta, karsa, dan rasanya dalam ketiga
wujud di atas. Wujud pertama, yakni ide dan gagsan yang sifatnya abstrak,
adanya dalam fikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu
berada. Gagasan tersebut memberi jiwa dan makna bagi kehidupan manusia dalam
masyarakat, sehingga menjasi suatu sistem
Wujud kedua dari kebudayaan adalah
kegiatan atau tindakan yang berpola dari manusia, yakni aktivitas manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam
sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya konkrit, bisa dilihat dan
diobservasi. Tindakan berpola, artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas
manusia merupakan refleksi dari ide/gagasan, norma, dan aturan yang telah
dimilikinya. Sedangkan wujud ketiga dari kebudayaan adalah seluruh hasil fisik
perbuatan atau karyamanusia dalam masyarakat.
Keseluruhan dari tindakan manusia
yang berpola teramat banyak jumlahnya, yang dapat dikategorikan dalam dua
unsur, yakni:
1. unsur yang bersifat universal,
artinya kebudayaan yang berlaku umum bagi setiap manusia di muka bumi ini.
2. Unsur yang bersifat khusus, artinya
dalam kebudayaan yang sifatnya universal tersebut ada unsur-unsur yang khusus
Kluckhom (dalam Sudjana, 2002: 12)
membagi tujuh kategori kebudayaan universal, yakni:
1. Bahasa.
2. Sistem pengetahuan.
3. Organisasi Sosial.
4. Sistem peralatan dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian
6. Sistem religi.
7. Kesenian.
Setiap unsur kebudayaan universal di
atas mengandung tiga wujud kebudayaan. Unsur khusus dari setiap kebudayaan
universitas akan terdapat di dalamnya. Misalnya bahasa, secara universal setiap
manusia mempunyai bahasa, namun bahasa tersebut untuk setiap masyarakat atau
negara bisa berbeda satu sama lain.
Dalam konteks ini, pendidikan
dituntut bisa mengantisipasi tuntutan hidup sehingga mampu menyiapkan peserta
didik untuk dapat hidup wajar sesuai dengan sosial budaya masyarakat. Karena
alasan inilah media pembelajaran perlu disesuaikan dengan perkembangan sosial
yang terjadi di sekitar peserta didik.
Dalam proses tersebut peranan komunikasi sangat penting, sebab hakikat
teknologi pengajaran adalah upaya guru mempengaruhi siswa agar dapat mencapai
tujuan penddikan . Oleh sebab itu, landasan sosial teknologi pengajaran ada
pada komunikasi insani. Berkomunikasi merupakan kegiatan manusia, sesuai dengan
naluriahnya yang selalu ingin berhubungan satu sama lain, saling berinteraksi
dan saling membutuhkan. Keinginan untuk berhubungan di antara sesamanya
sesungguhnya merupakan naluri manusia yang ingin hidup berkelompok atau
bermasyarakat. Dengan adanya naluri tersebut, maka komunikasi dapat dikatakan
merupakan bagian hakiki dari kehidupanya yang senantiasa hidup bermasyarakat.
Dengan kata lain, manusia akan kehilangan hakekatnya sebagai manusia bila ia
tidak melakukan kegiatan komunikasi dengan sesamanya. Dalam Proses belajar
pada hakekatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan
dari sumber pesan melalui saluran atau media tertentu ke penerima pesan. Pesan,
sumber pesan, saluran atau media dan penerima pesan adalah komponen komponen
komunikasi. Pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran atau didikan yang
ada di kurikulum, sumber pesan bisa guru, peserta didik, orang lain atau
penulis buku dan produser media, saluranya adalah media pendidikan dan penerima
pesan adalah peserta didik atau juga guru. Proses pengoperan dan penerimaan
lambang- lambang yang mengandung makna dimaksudkan bahwa makna lambang dalam
perjanjian umum, baik oleh pihak pemakai lambang (komunikator) maupun oleh
penerima lambang (komunikan), diartikan sama. Dalam hubungan ini Wilbur Schramm
menjabarkan pengertian umum komunikasi itu ke dalam tiga kategori pokok dengan
beberapa istilah yaitu ; 1) Enconder, yaitu
komunikator, guru yang mempunyai informasi tertentu dan benar, mampu
mengirimkan informasi tersebut secara tepat pada kecepatan optimal, dan sampai
kepada penerima informasi, yaitu para siswanya. 2) Sign/
signal, yaitu pesan, berita, atau pernyataan tertentu yang ditujukan kepada dan
diterima oleh seseorang atau kelompok orang penerima
3) Decoder, yaitu komunikan yang dalam konteks pendidikan adalah siswa yang menerima pesan tertentu, mampu memahami isi pesanya yang diterima.
Tujuan Komunikasi Terdapat beberapa tujuan komunikasi diantaranya :
3) Decoder, yaitu komunikan yang dalam konteks pendidikan adalah siswa yang menerima pesan tertentu, mampu memahami isi pesanya yang diterima.
Tujuan Komunikasi Terdapat beberapa tujuan komunikasi diantaranya :
a) Tujuan komunikasi bersifat informatif yang
berhubungan dengan pikiran manusia.
b) Tujuan komuniksi bersifat persuasif yang berkaitan
dengan usur kejiwaan manusia.
c) Tujuan komunikasi bersifat hiburan yang berhubungan
dengan unsur kejiwaan manusia juga.
Akan tetapi, tujuan pokok komunikasi adalah mengubah hubungan asli antara
diri kita dengan lingkungan di tempat kita berada. Dengan demikian tujuan
komnunikasi yang utama adalah mempengaruhi orang lain atau mempengaruhi
lingkungan fisik kita dan menjadikan diri kita sebagai agen yang dapat
mempengaruhi, agen yang bisa menentukan terhadap lingkungan kita untuk
dijadikan sesuatu yang kita kehendaki.
Media pendidikan sebagai salah satu sumber
belajar yang dapat menyalurkan pesan dapat membantu mengatasi hal tersebut.
Perbedaan gaya belajar, minat, integensia, keterbatasan indera, cacat tubuh
atau hambatan jenis geografis, jarak waktu dan sebagainya dapat dibantu diatasi
dengan pemanfaatan media pendidikan.
Dalam menggunakan media, guru perlu
mempertimbangkan latar belakang sosial anak didik dalam sekolah. Sebab jika
media yang digunakan tidak sesuai latar belakang sosial anak didik maka materi
pelajaran atau pesan yang dikirim tentunya tidak bisa tersampaikan secara
optimal. Bahkan pembelajaran akan menjadi bias karena media yang digunakan guru
tidak sesuai dengan kondisi sosial anak didik.
Misalnya, seorang guru yang mengajar
di sekolah yang rata-rata siswanya berasal dari keluarga dengan latar belakang
sosial kurang maju secara teknologi. Mereka belum pernah melihat tampilan slide
berbasis komputer, lalu guru menyampaikan materi dengan menggunakan LCD dan
dihiasi dengan berbagai animasi gambar, maka siswa akan lebih memperhatikan
kecanggihan media dan animasi yang ditampilkan sementara itu, materi pelajaran
tidak diperhatikan sehingga pembelajaran menjadi bias karena media yang dipilih
tidak sesuai kondisi sosial anak didik. Begitu sebaliknya, guru yang mengajar
di sekolah yang anak didiknya berasal dari keluarga yang kondisi sosialnya
lebih maju dan sehari-hari telah berinteraksi dengan komputer serta jenis media
berbasis komputer lainnya. Maka saat guru memilih media yang tradisional siswa
akan makin menurun motivasi belajarnya dan tidak fokus pada materi yang
disampaikan guru. Padahal di antara fungsi dan manfaat media pembelajaran
adalah untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam pembelajaran.
Untuk itu, landasan sosiologis perlu
dipertimbangkan guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran. Guru
perlu menganalisis latar belakang sosial anak didik dalam menggunakan media
pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi kesesuaian media
dengan kondisi sosial anak didik.
4.
Landasan Historis Media Pembelajaran
Yang dimaksud dengan landasan
historis media pembelajaran ialah rasional penggunaan media pembelajaran yang
ditinjau dari sejarah konsep istilah media digunakan dalam pembelajaran. Untuk
mengetahui latar belakang sejarah penggunaan konsep media pembelajaran marilah
kita ikuti penjelasan berikut ini.
Perkembangan konsep media pembelajaran sebenarnya bermula dengan lahirnya kon-sepsi pengajaran visual atau alat bantu visual sekitar tahun 1923.Yang dimaksud dengan alat bantu visual dalam konsepsi pengajaran visual ini adalah setiap gambar, model, benda atau alat yang dapat memberikan pengalaman visual yang nyata kepada pebelajar. Kemudian kosep pengajaran visual ini berkembang menjadi “audio visual instruction” atau “audio visual education” yaitu sekitar tahun 1940. Sekitar tahun 1945 timbul beberapa variasi nama seperti “audio visual materials”, “audio visual methods”, dan “audio visual devices”. Inti dari kosepsi ini adalah digunakannya berbagai alat atau bahan oleh guru untuk memindahkan gagasan dan pengalaman pebelajar melalui mata dan telinga. Pemanfaat-an konsepsi audio visual ini dapat dilihat dalam Cone of experience “Kerucut Pengalaman” dari Edgar Dale.[9]
Perkembangan konsep media pembelajaran sebenarnya bermula dengan lahirnya kon-sepsi pengajaran visual atau alat bantu visual sekitar tahun 1923.Yang dimaksud dengan alat bantu visual dalam konsepsi pengajaran visual ini adalah setiap gambar, model, benda atau alat yang dapat memberikan pengalaman visual yang nyata kepada pebelajar. Kemudian kosep pengajaran visual ini berkembang menjadi “audio visual instruction” atau “audio visual education” yaitu sekitar tahun 1940. Sekitar tahun 1945 timbul beberapa variasi nama seperti “audio visual materials”, “audio visual methods”, dan “audio visual devices”. Inti dari kosepsi ini adalah digunakannya berbagai alat atau bahan oleh guru untuk memindahkan gagasan dan pengalaman pebelajar melalui mata dan telinga. Pemanfaat-an konsepsi audio visual ini dapat dilihat dalam Cone of experience “Kerucut Pengalaman” dari Edgar Dale.[9]
Kerucut
Pengalaman.[10]
Dari
gambar tersebut dapat kita lihat rentangan tingkat pengalaman belajar dari yang
bersifat langsung hingga ke pengalaman melalui simbol-simbol verbal, yang
merupakan suatu rentangan dari yang bersifat konkret ke abstrak, pengetahuan
akan semakin abstrak apabila pesan hanya disampaikan melalui kata verbal.[11]
tentunya memberikan implikasi tertentu terhadap pemilihan metode, strategi, dan
bahan pembelajaran, khususnya dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi
pembelajaran.
Dalam
kerucut pengalaman Edgar Dale terdapat empat jenis pengalaman belajar, yaitu:
a.
Mengamati dan berinteraksi dengan lambang
verbal, misalnya mendengarkan ceramah.
b.
Mengamati dan berinteraksi dengan mediated
events, misalnya menonton slide, video/VCD.
c.
Mengamati dan berinteraksi dengan actual
events, misalnya fildtrif, demontration, sosiodrama (roleplay),
d.
Melakukan pengalaman langsung, misalnya: memasak,
mencangkul kebun sekolah dan sebagainya.
Perbandingan
perolehan hasil belajar melalui indera pandang dan idera dengar sangat menonjol
perbedaannya. Kurang lebih 80% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera
pandang, dan hanya 15% diperoleh oleh indera dengar, dan 5% lagi dari indera
lainnya.[12] Teknologi
pembelajaran pada saat itu masih condong ke pendekatan media, oleh karena itu
merupakan model klasifikasi media yang bertolak pada teori komunikasi
Pemikiran
Edgar Dale tentang kerucut pengalaman ini merupakan upaya awal unruk memberikan
alasan atau dasar tentang keterkaitan antara teori belajar dengan komunikasi
audiovisual. Kerucut pengalam Dale telah menyatukan teori pendidikan John Dewey
dengan gagasan-gagasan dlam bidang psikologi yang tengah populer pada masa itu.
Perkembangan besar berikutnya adalah
munculnya gerakan yang disebut “audio visual communication” pada tahun 1950-an.
Dengan diterapkannya konsep komunikasi dalam pembelajaran, peekanan tidak lagi
diletakkan pada benda atau bahan yang berupa bahan audio visual untuk
pembelajaran, tetapi dipusatkan pada keseluruhan proses komu-nikasi informasi
atau pesan dari sumber (guru, materi atau bahan) kepada penerima (pebelajar).
Gerakan komunikasi audio visual memberikan penekakan kepada proses komunikasi
yang lengkap dengan menggunakan sistem pembelajaran yang utuh. Jadi konsepsi
audio visual berusaha mengaplikasikan konsep komunikasi, sistem, disain sistem
pembelajaran dan teori belajar dalam kegiatan pembelajaran. Perkembangan
berikutnya terjadi sekitar tahun 1952 dengan munculnya konsepsi “instructional
materials” yang secara kosepsional tidak banyak berbeda dengan konsepsi
sebelumnya. Karena pada intinya konsepsi ini ialah mengaplikasikan proses
komunikasi dan sistem dalam merencanakan dan mengembangkan materi pembelajaran.
Beberapa istilah yang merupakan variasi penggunaan konsepsi “instructional
materials” adalah “teaching/ learning materials”, “learning resources”. Dalam tahun
1952 ini juga telah digunakan istilah “educational media” dan “instructional
media”, yang sebenarnya secara konsepsional tidak mengalami perubahan dari
konsepsi sebelumnya, karena di sini dimaksudkan untuk menunjukkan kegiatan
komunikasi pendidikan yang ditimbulkan dengan penggunaan media tersebut. Puncak
perkembangan konsepsi ini terjadi sekitar tahun 1960-an. Dengan mengaplikasikan
pendekatan sistem, teori komunikasi, pengembangan sistem pembelajaran, dan
pengaruh psikologi Behaviorisme, maka muncullah konsep “educational technology”
dan/ atau “instructional technology” di mana media pendidikan atau media
pembelajaran merupakan bagian dari padanya.
5.
Landasan Teknologis.
Definisi Teknologi Pembelajaran
menurut AECT “ teknologi pembelajaran adalah teori dan praktik dalam desain,
pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan
sumber untuk belajar”.[13]
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa teknologi pembelajaran
pada awalnya sama dengan media pembelajaran yang lahir dari revolusi
komunikasi. Dalam perkembangan selanjutnya teknologi pembelajaran merupakan
suatu disiplin ilmu tersendiri yang bukan hanya terbatas pada media dalam
bentuk peralatan fisik semata, melainkan merupakan kajian dan praktik etis
dalam mendesain, mengembangkan, menggunakan, mengelola dan mengevaluasi proses
dan sumber teknologi yang sesuai untuk memfasilitasi belajar dan memperbaiki
kinerja tenaga pendidik, peserta didik dan organisasi kependidikan.[14]
Rumusan tentang teknologi
pembelajaran telah mengalami beberapa perubahan, sejalan dengan sejarah dan
perkembangan dari teknologi pembelajaran itu sendiri. Pengertian teknologi
pembelajaran berkembang sebagai akibat dari meningkatnya tuntutan terhadap
pendidikan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara konvesional.
Sasaran akhir dari teknologi
pembelajaran adalah memudahkan pebelajar untuk belajar. Untuk mencapai sasaran
akhir ini, teknolog-teknolog di bidang pembelajaran mengembangkan berbagai
sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan setiap pebelajar sesuai dengan
karakteristiknya. Dalam upaya itu, teknolog berkerja mulai dari pengembangan
dan pengujian teori-teori tentang berbagai media pembelajaran melalui
penelitian ilmiah, dilanjutkan dengan pengembangan disainnya, produksi,
evaluasi dan memilih media yang telah diproduksi, pembuatan katalog untuk
memudahkan layanan penggunaannya, mengembangkan prosedur penggunaannya, dan
akhirnya menggunakan baik pada tingkat kelas maupun pada tingkat yang lebih
luas lagi (diseminasi).
Semua kegiatan ini dilakukan oleh para teknolog dengan berpijak pada prinsip bahwa suatu media hanya memiliki keunggulan dari media lainnya bila digunakan oleh pebelajar yang memiliki karakteristik sesuai dengan rangsangan yang ditimbulkan oleh media pembelajaran itu. Dengan demikian, proses belajar setiap pebelajar akan amat dimudahkan dengan hadirnya media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik belajarnya.
Semua kegiatan ini dilakukan oleh para teknolog dengan berpijak pada prinsip bahwa suatu media hanya memiliki keunggulan dari media lainnya bila digunakan oleh pebelajar yang memiliki karakteristik sesuai dengan rangsangan yang ditimbulkan oleh media pembelajaran itu. Dengan demikian, proses belajar setiap pebelajar akan amat dimudahkan dengan hadirnya media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik belajarnya.
Media pembelajaran sebagai bagian dari
teknologi pembelajaran memiliki enam manfaat potensial dalam memecahkan masalah
pembelajaran, yaitu:
a. Meningkatkan produktivitas
pendidikan ( Can make education more productive).
Dengan media dapat meningkatkan produktivitas pendidikan antara lain dengan jalan mempercepat laju belajar siswa, membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik dan mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga guru lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belajar siswa.
Dengan media dapat meningkatkan produktivitas pendidikan antara lain dengan jalan mempercepat laju belajar siswa, membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik dan mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga guru lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belajar siswa.
b. Memberikan kemungkinan
pembelajaran yang sifatnya lebih individual (Can make education more
individual). Pembelajaran menjadi lebih bersifat individual antara lain
dalam variasi cara belajar siswa, pengurangan kontrol guru dalam proses
pembelajaran, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai
dengan kemampuan dan kesempatan belajarnya.
c. Memberikan dasar yang lebih
ilmiah terhadap pembelajaran ( Can give instruction a more scientific base).
Artinya perencanaan program pembelajaran lebih sistematis, pengembangan bahan
pembelajaran dilandasi oleh penelitian tentang karakteristik siswa,
karakteristk bahan pembelajaran, analisis instruksional dan pengembangan disain
pembelajaran dilakukan dengan serangkaian uji coba yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.
d. Lebih memantapkan pembelajaran (Make
instruction more powerful).
Pembelajaran menjadi lebih mantap dengan jalan meningkatkan kapabilitas manusia menyerap informasi dengan melalui berbagai media komunikasi, di mana informasi dan data yang diterima lebih banyak,lengkap dan akurat.
Pembelajaran menjadi lebih mantap dengan jalan meningkatkan kapabilitas manusia menyerap informasi dengan melalui berbagai media komunikasi, di mana informasi dan data yang diterima lebih banyak,lengkap dan akurat.
e. Dengan media membuat proses
pembelajaran menjadi lebih langsung/seketika (Can make learning more
immediate). Karena media mengatasi jurang pemisah antara pebelajar dan
sumber belajar, dan meng-atasi keterbatasan manusia pada ruang dan waktu dalam
memperoleh informasi, dapat menyajikan “kekongkritan” meskipun tidak secara
langsung.
f. Memungkinkan penyajian
pembelajaran lebih merata dan meluas (Can make access to education more
equal).[15]
6.
Landasan Empirik
Berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa
ada interaksi antara pemanfaatan media dan karakteristik pebelajar dalam
menentukan hasil belajar siswa. Pemanfaatan media adalah penggunaan yang
sistematis dari sumber untuk belajar.[16]
Artinya bahwa pebelajar akan mendapat
keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai
dengan karakteristiknya. Pebelajar yang memiliki gaya visual akan lebih
mendapat keuntungan dari penggunaan media visual, seperti film, video, gambar
atau diagram; sedangkan pebelajar yang memiliki gaya belajar auditif lebih
mendapatkan keuntungan dari penggunaan media pembelajaran auditif, seperti
rekaman, radio, atau ceramah guru.[17]
Atas dasar ini, maka prinsip penyesuaian jenis media yang akan digunakan dalam
kegiatan pembelajaran dengan karakteristik individual pebelajar, menjadi
semakin mantap. Pemilihan dan penggunaan media hendaknya jangan didasarkan pada
kesukaan atau kesenangan guru, tetapi dilandaskan pada kecocokan media itu dengan
karakteristik pebelajar, disamping kriteria lain, seperti kepraktisan dan
kemudahan mendapatkannya
7. Landasan
Religius
Menurut Drs Mahfudh
Shalahuddin dalm bukunya Media Pendidikan Islam menyatakan ada beberapa dasar
penggunaan media diantaranya adalah dasar religius yang berkenaan dengan
penggunaan media pembelajaran. Dalam masalah penerapan media pendidikan agama,
harus memperhatikan jiwa keagamaan pada anak didik. Oleh karena faktor inilah
yang justru menjadi sasaran media pendidikan agama yang sangat prinsipil.
Dengan tanpa memperhatikan serta memahami perkembangan jiwa anak atau tingkat
daya fikir anak
Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 125 :
Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 125 :
ادْعُ إِلىٰ سَبِيْلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَ جٰا دِ لْهُمْ بِا لَّتِي
هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ
اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِ يْنَ
Artinya :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Hikmah adalah perkataan
yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil.
Bermacam-macam orang mengartikan kata “Hikmah” dalam arti “Bijaksana.” Adapula
yang mengartikan hikmah dengan cara yang tepat dan efektif. Dapat disimpulkan
bahwa hikmah adalah cara yang bijaksana, tepat, efektif, dan dapat diterima
dengan akal. Oleh karena itu tugas pengamatan yang pertama harus dilakukan oleh
guru agama sebagai pendidik ialah pengamatan langsung kepada perkembangan
keagamaan anak didik. Sebab perkembangan sikap keagamaan anak sangat erat
hubungannya dengan sikap percaya kepada Tuhan, yang telah diberikan di
lingkungan keluarga atau masyarakat, yang selanjutnya dapat dijadikan bahan
dasar pengertian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan metode yang dipakai
dalam proses belajar mengajar.
Dengan memperhatikan
kompleks dan uniknya proses belajar, maka ketepatan pemilihan media dan metode
pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping
itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu,
dalam pemilihan media, di samping memperhatikan kompleksitas dan keunikan
proses belajar, memahami smakna persepsi serta factor-faktor yang berpengaruh
terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses
pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.
Telah disebutkan banyak
sekali yang melandasi penggunaan media pembelajaran, seperti landasan
teknologis, filosofis, psikologis, sosiologis, religius dan historis. Dari
masing- masing landasan memaparkan pentingnya mengapa kita harus menggunakan
media dalam pembelajaran. Seperti halnya landasan filosofis yang membicarakan
tentang hakekat dan mengapa diperlukan media pembelajaran yang tidak lain
karena kehidupan yang semakin maju dan itu mempengaruhi pengetahuan,
karena dengan pengetahuan, kita akan menuju masyarakat yang memiliki peradaban. Maka
tak dapat dipungkiri dalam dunia pendidikan sendiri perlu adanya perkembangan
ilmu pengetahuan yang tidak mungkin disampaikan secara tradisional atau
klasikal, akan tetapi perlulah teknologi untuk mendukung proses pembelajaran.
Agar peserta didik lebih berpikir realistik dan memiliki kecerdasan
intelektual. Landasan ini hampir sama dengan landasan teknologis. Untuk
sosiologis, yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Tentunya dalam kita hidup
perlunya kita berkomunikasi. Dalam proses belajar mengajar komunikasi ini
dilakukan antara guru dan peserta didik. Didalam komunikasi antara guru
dan peserta didik, pengajar akan tahu karakteristik siswa, bagaimana psikologi
dari masing- masing murid yang diajarkan, sehingga guru lebih paham media yang
seperti apa yang cocok untuk siswanya.
Dalam dunia pendidikan
modern saat ini, bagaimanakah pengaruh media pembelajaran dalam proses
belajar-mengajar, tentunya sangat membantu pesrta didik untuk lebih mengenal
objek apa yang sedang dipelajarinya. Peserta didik juga dapat
menumbuhkembangkan kemampuan yang lebih dengan alat teknologi. Diharapkan siswa
dapat memenuhi sumber daya manusia yang dibutuhkan, untuk menghadapi
globalisasi yang merajalela. Alat teknologi memang diperuntukan bukan untuk
dunia pendidikan, akan tetapi, apabila alat tersebut bisa diterapkan
dalam pendidikan dan bisa bermanfaat untuk pendidikan, maka hal itu
sangat membantu untuk mencapai tujuann pendidikan nasional. Akan tetapi,
pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa serta
memberikan kejelasan objek yang diamatinya. Bahan pembelajaran yang
diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Dari ketiga landasan tersebut
sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu memudahkan peserta didik dalam
menerima pembelajaran agar siswa lebih memahani dan mengena apa yang dijelaskan
guru kepada mereka.
B. Kesimpulan
Secara garis besar terdapat
tujuh landasan penggunaan media pembelajaran, yaitu: landasan
psikologis, sosiologis,landasan teknologis, Filosofis, Historis, Empirik dan
Religius. Landasan psikologis menggaris bawahi bahwa dalam menggunakan media
pembelajaran hendaknya seorang guru mengetahui kecenderungan minat dan
keinginan siswa agar nantinya materi yang diajarkan lebih mengena dan
memahamkan. Sedangkan landasan sosiologis menekankan kepada cara guru dan
peserta didik dalam berkomunikasi. Landasan teknologis menitikberatkan pada
alat- alat yang memudahkan peserta didik dalam pembelajaran. Untuk
landasan historis menegenai sejarah penggunaan media pembelajaran. Dan landasan
filosofis berbicara tentang hakekat, mengapa perlu adanya media dalam
pendidian. Untuk yang terakhir yaitu, landasan religious yang berisi tentang
bagaimana Al-Quran memandang media dalam pembelajaran itu. Dari beberapa
landasan yang sudah ada diharapkan kita tidak perlu rau lagi menggunakan alat
dalam pembelajaran asal tepat memilihnya. Dan diharapkan alat atau
media yang digunakan dapat membantu peserta didik mencapai tujuan akhir
pendidikan.
[1]
Yamin dalam H.M Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta. Prestasi Pustaka. 2012. Hal 25
[2]
Amin Abdullah,Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam
Masyarakat Multikultural dan Multireligius, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Filsafat lAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000
[3]
Kuncjojo. Fisafat Ilmu, Universitas Nusantara, Pgri, Kediri 2009
[4]
Musa
Asy’arie, Filsafat Islam: Suatu Tinjauan
Ontologis'", dalam
Irma Fatimah (ed.), Filsafat
Islam: kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Prospektif,
Yogyakrta, LESFI, 1993
[5]
Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta. Prestasi
Pustaka.2012. hal.58
[6]
Sukmadinata dalam Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta.
Prestasi Pustaka. 2012. Hal.60
[7]
Sukmadinata dalam Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta.
Prestasi Pustaka. 2012. Hal.62
[8]
Nasution dalan Musfiqon. Pengembangan Media dan Sumber Belajar. Jakarta.
Prestasi Pustaka. 2012 hal. 64
[9]
Bambang Warsita. Teknologi Pembelajaran Landasan & Aplikasinya. Jakarta.
Rineka Cipta. 2008. Hal.12
[10]
Mochamad Nursalim. Pengembangan Media Bimbingan & Konseling.
Jakarta. Akademia. 2013. Hal. 7
[11] ibid
[12] Rusman.
Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer Mengembangkan Profesionalisme
Guru Abad 21. Bandung. Alfa Beta.
2013. Hal. 165
[13]
Seels & Richey dalam Bambang Warsita. Teknologi Pembelajaran Landasan
& Aplikasinya. Jakarta. Rineka Cipta. 2008. Hal.13
[14] Azhar
Arsyad. Media Pembelajaran. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2013. Hal.7
[15]
Rayandra Asyhar. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta.
Gaung Persada. 2011. Hal. 24
[16]
Deni Darmawan. Inovasi Pendidikan Pendekatan praktik Teknologi Multi Media
dan Pembelajaran Online. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2012. Hal. 23
[17]
ibid Hal. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar